Dilema Gelar Kepahlawanan
“Tidak harus
berdarah-darah untuk dapat disebut sebagai seorang pahlawan.”
– anonim.
Hari ini Indonesia memperingati Hari Pahlawan
yang jatuh setiap tanggal 10 November setiap tahun-nya. Tepat hari ini,
masyarakat Indonesia kembali mengenang perjuangan Revolusi Nasional Indonesia yang
dikomandoi oleh Bung Tomo yang gugur kala itu. Namun, Bung Tomo malah baru mendapat
gelar Pahlawan Nasional-nya pada tahun 2008 lalu. Ini seperti dilema bagi gelar
kepahlawanan di Indonesia.
Gelar Pahlawan Nasional Indonesia diidentikkan
dengan pejuang-pejuang pada jaman Belanda yang fotonya ditempel di dinding
kelas ataupun yang diajarkan oleh guru di sekolah. Pahlawan Nasional dianggap
sebagai orang-orang yang ikut berperang dan berdarah-darah di jaman penjajahan
dulu, seperti Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari dan yang lainnya.
Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan (UU
No. 20/2009) dikatakan bahwa Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan
kepada Warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan
di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang
semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan
karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik
Indonesia. Gelar tersebut diberikan oleh presiden, ditegaskan dalam Pasal 32 UU
No. 20/2009.
Namun, UU tersebut kemudian menjadi perhatian
sebagian kalangan dalam beberapa tahun belakangan. Dalam laman kompasiana.com, terdapat beberapa tokoh yang
pada akhirnya dipermasalahkan pemberian gelar kepahlawanan-nya. Salah satunya
R.A. Kartini. Banyak orang menilai R.A. Kartini tidak berhak diberi gelar kepahlawanan,
karena Kartini tidak ikut berperang dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Padahal Kartini dengan sangat jelas berjuang untuk pendidikan para wanita
Indonesia. Tanpa Kartini wanita Indonesia tidak akan bisa bersekolah layaknya
pria.
Lalu pengajuan gelar kepahlawanan Mantan
Presiden Kedua Indonesia, Soeharto pada Mei lalu. Banyak pihak yang tidak
setuju dengan pemberian gelar pahlawan kepada beliau. Jasa-jasa beliau dirasa
belum pantas untuk diberi gelar kepahlawanan. Padahal hanya saat pemerintahan
Soeharto-lah, Indonesia merasakan swasembada beras.
Kenyataan lain adalah dua proklamator
kebanggaan Indonesia Soekarno-Hatta, baru mendapatkan gelar kepahlawanan-nya
pada tahun 2012. Lalu tokoh-tokoh lain yang seharusnya mendapat gelar
kepahlawanan seperti W.S. Rendra yang telah berjasa di bidang seni dan sastra, Rudi
Hartono yang mengharumkan nama Indonesia dalam bidang olahraga internasional, dan
tokoh-tokoh lain yang berjasa dalam bidangnya sendiri.
Setelah
dikaji dari hal tersebut diatas, di jaman modern seperti sekarang ini,
sesungguhnya pemerintah tidak dapat membuat seseorang sampai berdarah-darah
dulu untuk membuat ia dapat diberi gelar sebagai seorang Pahlawan Nasional. Banyak pihak menyayangkan isi dari
Keppres dan UU tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Karena menurut
UU tersebut, gelar pahlawan hanya diberikan kepada orang-orang yang telah tiada
ataupun gugur di medan peperangan. Padahal arti pahlawan sendiri memiliki makna
yang begitu luas dan pemberian gelar ini penting sebagai motivasi pada generasi
berikutnya agar terus berjuang. Tidak peduli bahwa mereka masih hidup atau
tidak, dengan gelar tersebut masyarakat dapat menghargai pribadi-nya dan bukan
hanya jasa-nya.
Jika diartikan secara harfiah, kata Pahlawan
berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu phala-wan
yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas
bagi bangsa, negara, dan agama. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, pahlawan diartikan sebagai orang yang menonjol
karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran ; pejuang yang
gagah berani.
Jika ditarik dari definisi pahlawan itu
sendiri, pahlawan sesungguhnya tidak melulu tentang orang yang telah tiada. Pahlawan
yang sesungguhnya adalah orang-orang yang berjasa untuk memajukan negeri tanpa
mengharapkan imbalan apapun. Mereka yang rela mengorbankan jiwa dan raga untuk
kemajuan negeri, karena ancaman Indonesia kini tidak melulu tentang perang dan
perjuangan memperebutkan kemerdekaan, namun ancaman SARA, HAM, permasalahan
lingkungan dan lain lain.
Tidak
harus berdarah-darah untuk dapat disebut sebagai seorang pahlawan. Masyarakat
perlu meningkatkan awareness mengenai
isu-isu kemanusiaan dan berusaha membantu menyadarkan masyarakat kecil untuk
keluar dari belenggu penjajahan mental dan kapitalisme. Dan yang dominan
memegang peranan tersebut adalah bagaimana mahasiswa memiliki cukup pengetahuan
dan idealisme mengenai hal tersebut. Sayangnya, mahasiswa kini sedang berada di
dalam zona nyaman dan aman sehingga potensi mereka untuk dapat menjadi pahlawan
terancam berkurang.
Seperti
kutipan Bung Karno yang fenomenal dan selalu dikutip disetiap Hari Pahlawan
tiba, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa para
pahlawannya. Kutipan dari anonim tersebut diatas, juga harus dapat di sadari
oleh pemerintah dan masyarakat. Kita tidak
perlu hal besar untuk menghargai dan dihargai, segalanya dapat dimulai dari hal
kecil yang bahkan tidak kita sadari.
Selamat
Hari Pahlawan!
Salam
Kolaboratif
Unity
to Glory! FISIP!!
Departemen
Kajian Aksi Strategis dan Pengabdian Masyarakat
BEM
FISIP Universitas Udayana
Kabinet
FISIP Kolaboratif