Jangan Biarkan
Indonesia Meredup
“Jangan berperang satu
sama lain. Jangan membunuh bangsa sendiri. Jangan biarkan Indonesia meredup.” –
Gede Pasek Suardika, Mantan Ketua Komisi III DPR RI.
Indonesia
membutuhkan waktu yang lama untuk merdeka sebab masyarakatnya dikatakan mudah
untuk diadu domba. Kelemahan utama bangsa ini adalah bagaimana bangsa ini mudah
dipengaruhi, dihasut untuk saling membenci.
Setelah
merdeka-pun, terjadi gerakan-gerakan saling membenci antar suku, antar partai
politik, antar institusi, antar wilayah bahkan antar supporter bola. Dan, isu yang sangat sensitif akhir-akhir ini yaitu
isu agama.
Dikaitkan
dengan kasus yang terjadi belakangan ini. Bangsa Indonesia malah seperti sedang
mengalami dilema yang sama “lagi dan lagi”. Kasus yang menimpa Gubernur
non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengenai tuduhan penistaan agama
dan aksi 212 seperti menyadarkan bangsa ini bahwa : Ada apa dengan Indonesia?
Dalam
laman berita online, cnnindonesia, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Gatot
Nurmantyo mengatakan bahwa tantangan utama yang dialami pertahanan Indonesia
adalah proxy war (perang tidak
tampak). Saat dimana masyarakat Indonesia dicekoki dan di adu domba satu sama
lain oleh pengaruh asing. Dan praktik ini sesungguhnya memang sudah berlaku
sejak lama, sejak jaman kolonial Belanda.
Perbedaannya,
di jaman globalisasi seperti sekarang, medsos (media sosial)-lah yang mempercepat
perpecahan itu sendiri. Dalam laman berita online news.detik, Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus)
Polda Metro Jaya AKBP Hengky Haryadi mengatakan bahwa hasutan dari media sosial
mempercepat eskalasi konflik. Statement
Hengky Haryadi tentunya berdasarkan kasus-kasus yang belakangan ini banyak
bermunculan. Salah satunya adalah kasus bentrok warga di Tanjung Balai Sumatera
Utara Juli 2016. Melalui medsos, agresivitas sekelompok orang tertentu mudah
dibangkitkan, yang pada akhirnya berakhir dengan bentrok. Media sosial seperti
pisau bermata dua. Memudahkan sekaligus memprihatinkan saat medsos menjadi
media penyebaran kebencian dan provokasi yang mengarah pada isu SARA.
Kami
mengkaji bahwa, tantangan terbesar Indonesia sesungguhnya adalah rasa saling
curiga dan kanibalisme atau rasa saling ingin memakan satu sama lain antar
masyarakat. Masalah terbesar Indonesia bukan di toleransi masyarakatnya yang
rendah, namun sifat mudah terpengaruhi-nya yang tinggi. Padahal bangsa kita
adalah bangsa yang besar.
Masyarakat
Indonesia perlu sadar bahwa mereka adalah bagian penting NKRI. Besar atau kecil. Organisasi ataupun individu. Mereka
tetap jadi bagian dari NKRI. Rapuh sedikit saja, dapat membuat NKRI tak lagi
utuh dan sekuat sebelumnya.
Sebagai
bangsa yang cerdas, di momentum Hari Kesatuan Nasional yang tepat jatuh hari
ini, 13 Desember 2016, masyarakat Indonesia harus bersatu. Berperang melawan proxy war tidak lagi dengan otot dan
emosi namun dengan otak dan empati.
Seperti
ucap Mantan Ketua Komisi III DPR RI dalam Seminar Nasional Pilar Kebangsaan Pancasila, UUD45, NKRI, Bhineka Tunggal Ika Indonesia
Bersatu, Beragam Warna, Berjuta Karya, bangsa ini perlu untuk tidak
berperang satu sama lain dan tidak membunuh bangsa-nya sendiri. Indonesia harus
bersatu. Jangan biarkan rasa kesatuan meredup. Jangan biarkan Indonesia
meredup.
Selamat
Hari Kesatuan Nasional!
Salam
Kolaboratif
Unity
to Glory! FISIP!!
Departemen
Kajian Aksi Strategis dan Pengabdian Masyarakat
BEM
FISIP Universitas Udayana
Kabinet
FISIP Kolaboratif