Pernyataan Sikap BEM FISIP Unud
"Polemik Freeport dan Pemerintah"
Belakangan
ini publik dipaksa untuk kembali menikmati pertunjukan drama klasik di negeri
kita ini. Di tahun ayam ini, media diramaikan dengan perseteruan antara pihak
pemerintah Indonesia dengan PT.Freeport
akibat keputusan pemerintah yang dinilai oleh PT.Freeport merugikan
perusahaannya. Permasalahan ini berawal dari izin ekspor konsentrat PT.Freeport
yang tidak diperpanjang oleh pemerintah sebelum PT.Freeport mau mengubah KK nya
menjadi IUPK. Pemerintah Indonesia mencoba melindungi aset-aset strategisnya
dengan IUPK, dimana posisi pemerintah dalam IUPK lebih diuntungkan ketimbang
dalam KK. Dalam IUPK, pemerintah dapat mengontrol dan mempunyai kendali atas kebijakan eksport PT.
Freeport, namun hal ini ditolak oleh PT Freeport karena dianggap keputusan ini
merupakan keputusan sepihak pemerintah Indonesia serta merugikan PT Freeport
itu sendiri.
Dalam
hal ini, tindakan pemerintah dalam melindungi aset negara dan kesejahteraan rakyat
dilandasi oleh UU No.4 tahun 2009
tentang pertambangan mineral dan batubara. Dalam Pasal 4 Ayat 1 UU No.4
tahun 2009 yaitu “Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak
terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kesejahteraan rakyat ”. Namun dalam kenyataannya PT. Freeport jelas ingin
menguasai dan memanfaatkan kekayaan sumber mineral dengan cara tidak mengindahkan keputusan pemerintah untuk
mengubah statusnya menjadi IUPK. Terang saja PT. Freeport dapat lebih leluasa
melanggengkan kekuasaan nya di tanah Papua.
PT.
Freeport bahkan berencana untuk mengurangi tenaga kerja Indonesia pasca
pelarangan izin konsentrat dengan dalih “merumahkan” tenaga kerja Indonesia.
Dimana kita sendiri tau “merumahkan” merupakan bahasa politis untuk PHK.
Tentunya pemerintah Inedonesia tidak ingin hal ini terjadi sehingga pemerintah
melakukan penekanan agar phk tersebut tidak dilaksanakan. Namun hal tersebut
ditolak dan pihak PT. Freeport berencana melakukan PHK sebesar 10%. Hal ini
juga disebabkan oleh polemik divestasi saham dimana Indonesia ingin 51% saham
Freeport diberikan kepada Indonesia namun Freeport tidak setuju dengan hal
tersebut dan hanya menyutujui untuk memberikan sahamnya sebesar 30%. Tentu
menjadi tanda tanya besar, karena dalam hal ini dimana seharusnya pemerintah
sebagai pihak pemilik dan penguasa malah
dipertanyakan kewenangannya.
Tidak
hanya sampai disitu, jika dilihat dari ketentuan dari perjanjian yang telah
berlaku, PT. Freeport belum menyelesaikan kewajibannya untuk membangun smelter
dalam proses pengolahan hasil tambang, dimana seharusnya pembangunan tersebut
dilaksanakan pada tahun 2015. Hal ini juga bertentangan dengan pasal 103 ayat 1
UU No. 4 tahun 2009 yaitu “Pemegang IUP dan IUPK operasi produksi wajib
melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri”. Dan
sekali lagi kenyataan dalam lapangan tidak sesuai dengan apa yang tertulis
dalam UU yang berlaku.
Cerita
tentang freeport ini bukanlah cerita baru. Namun seperti yang sudah-sudah,
ketika isu semacam ini mulai mencuat, selalu ada saja momen dimana isu tersebut
tenggelam oleh isu lain (read : sengaja ditenggelamkan) sehingga meredup
kembali. Indonesia bukanlah panggung sandiwara untuk mengakomodir tokoh-tokoh
yang sedang bermain peran. Sebuah drama dapat berjalan karena ada sutradara.
Kami sebagai rakyat yang lelah dengan dagelan ini berharap semoga sutradara
dibalik ini semua bukanlah yang sedang duduk di kursi pemerintah sana. Karena
tidak dapat di pungkiri, adanya kepentingan dan pihak yang mengamodir
kepentingan tersebut, dapat memuluskan berdirinya perusahaan raksasa seperti
PT.Freeport di Indonesia. Pemerintah didesak untuk mengambil sikap tegas
terkait memburu rente-rente yang menjadi dalang masalah ini. Agar nantinya tidak
ada yang mengambil kepentingan namun berkoar mengatasnamakan kesejahteraan
rakyat Papua.
Dari
uraian diatas, maka kami BEM FISIP UNUD menyatakan sikap dan pendapat sebagai
berikut :
- Mendesak
pemerintah agar berpegang teguh pada
UU No.4 Tahun 2009 serta tidak melakukan
perpanjangan kontrak karya PT Freeport yang seharusnya baru boleh diajukan pada
tahun 2019 atau 2 tahun sebelum kontrak karya berakhir.
- Mendukung
pemerintah untuk mengambil langkah tegas serta solusi yang tepat sesuai dengan
UU yang berlaku guna terselenggaranya kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber
daya mineral yang berpihak pada rakyat serta menjamin kesejahteraan rakyat.
- Mendesak
PT. Freeport Indonesia agar segera melaksanakan kewajibannya untuk membangun
smelter sesuai dengan perjanjian dan ketentuan yang berlaku.
- Mendorong
pemerintah untuk mengambil kebijakan yang bersifat antisipatif untuk masyarakat
yang disebabkan oleh perubahan kontrak karya ke IUPK.
- Mendukung
komitmen pemerintah untuk menasionalisasi perusahaan asing serta mewujudkan
kemandirian bangsa melalui pemberdayaan SDM.