Kontribusi
Pemilih Pemula dan Peran Media pada Pemilu 2014
oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis
BEM FISIP Universitas Udayana
Kebangkitan
dan perubahan substansial adalah perubahan yang tidak dinodai oleh pragmatisme
politik dan politik transaksional, tapi perubahan yang bersumber dari semangat
dan cita-cita luhur bangsa serta dilandasi nilai-nilai perjuangan, keikhlasan
dan pengabdian. Latar belakang Indonesia sebagai penganut sistem politik bebas
demokratis, membuat media dijadikan alat komunikasi politik yang paling efektif
oleh para calon legislatif dan beberapa partai politik. Menjelang Pemilu 2014,
banyak Partai Politik, caleg, Kader dan simpatisan memanfaatkan ketokohan dan
membuat statement di media massa untuk menaikan simpatik dari masyarakat agar
lebih mendukung caleg maupun parpolnya.
Inspirasi perubahan selalu berawal
dari kegelisahan-kegelisahan akan kondisi negara yang tidak kunjung membawa
kemakmuran, karena itu para aktivis mahasiswa dan generasi muda pemilih pemula
yang masih mempunyai idealisme dan cita-cita besar tentang Indonesia tentu
merasa gelisah dengan kondisi bangsa saat ini. Karena itulah Pemilu 2014
sesungguhnya menjadi momentum yang tepat bagi perubahan bangsa. Untuk itu, menyongsong
kebangkitan dan perubahan yang lebih fundamental di era transisi demokrasi dan
transisi kepemimpinan nasional harus siap mengusung, mengisi, dan mengawal
kebangkitan serta perubahan menuju cita-cita besar Indonesia yang lebih baik
dan beradab.
Pemilih pemula adalah mereka yang
berusia 17 tahun pada hari pencoblosan atau yang sudah menikah dan tercatat
dalam daftar pemilih tetap. Pemilih pemula dalam setiap even pemilu nasional
ataupun pemilukada selalu didominasi kalangan pelajar/siswa dengan jumlah
mereka yang relatif besar. Hal itulah yang menjadikan pemilih pemula sebagai
lahan emas dan sering menjadi rebutan partai politik maupun para politisi untuk
mendongkrak perolehan suara.
Diperkirakan dalam setiap pemilu, jumlah
pemilih pemula berkisar sekitar 25-30% dari keseluruhan jumlah pemilih dalam
pemilu. Fenomena tersebut tentu dapat menentukan
kemenangan partai politik atau kandidat tertentu yang berkompetisi. Dilihat
dari segi antusiasme pemilih, maka pemilih pemula dapat dikatakan pemilih yang
cukup antusias pergi ke TPS, mengingat hal tersebut adalah pengalaman baru bagi
mereka. Jiwa muda dan keinginan untuk coba-coba
masih mewarnai alur berpikir para pemilih pemula, sebagian besar dari mereka
hanya melihat momen pemilu sebagai ajang partisipasi dengan memberikan hak
suara mereka kepada partai dan tokoh yang mereka sukai/gandrungi. Antusiasme
mereka untuk datang ke TPS tidak bisa langsung diterjemahkan bahwa kesadaran
politik mereka sudah tinggi. Kebanyakan pemilih pemula dapat digolongkan
kedalam partisipasi parokial semata. Mereka masih membutuhkan pendewasaan
politik sehingga mampu berpartisipasi aktif dan dapat berkontribusi positif
dalam upaya menjaga dan menyukseskan demokratisasi.
Fenomena pemilih pemula dapat
dilihat sebagai kesempatan yang luar biasa bagi partai politik. Kasarnya para
pemilih pemula hanya menjadi lumbung suara tanpa mendapatkan edukasi dan penyadaran
politik dari parpol. Potensi besar ini
harus bisa dioptimalkan agar partisipasi mereka tak hanya sebatas partisipasi
parokial tanpa kontribusi untuk proses demokratisasi. Partai politik seharusnya
tidak hanya berpikir bagaimana mendulang perolehan suara, lebih dari itu parpol
harus memikirkan pula bagaimana menumbuhkan kesadaran politik bagi anak muda
yang nanti suatu saat juga akan menjadi kader-kader mereka, dan etikat itu yang
sampai saat ini belum ada terealisasi.
Disinilah peran KPU, PPK, KPPS yang
harus bahu membahu memberdayakan para pemilih pemula. Disinilah pemilih pemula
tidak hanya menjadi massa labil yang dapat dimobilisir melainkan harus didorong untuk menjadi pemilih otonom
yang steril dari mindset money politics, kolusi, maupun nepotisme. Potensi
ketokohan nasional harus dapat menjadi bagian dari kemenangan dan dimanfaatkan
dengan baik yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia menuju perubahan yang
lebih baik.
Dalam rangka untuk membangkitkan
generasi muda Indonesia berpartisipasi dalam Pemilu 2014 tidak pernah dibayangkan kalau seandainya
para pemilih muda yang jumlahnya mencapai 53 juta tersebut tidak menggunakan
hak pilihnya, apa lagi hingga tidak ada yang tertarik untuk memasuki bidang
politik maka itu adalah lonceng kematian untuk Republik Indonesia ini.
Fenomena generasi muda yang apatis
harus segera dibenahi agar tidak berkembang karena minimnya minat generasi muda
dalam persoalan politik berbangsa dewasa ini menjadi persoalan bersama.
Keberadaan generasi muda yang mulai memasuki usia produktif secara politik
amatlah penting dalam pembangunan bangsa, sehingga kesadaran dan kepedulian
mereka terhadap perkembangan politik harus dibina sejak dini. Menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, suara pemilih
muda sangat penting dan menentukan arah demokrasi Indonesia. Partai politik
sekarang harus mampu merebut kepercayaan para pemilih muda dengan aktif secara
politik dengan memilih mereka turut menentukan masa depan bangsa. Karena suara
mereka sangat signifikan, dan mereka adalah penerus bangsa, calon pemimpin
kedepannya. Ada satu kata konstan yang menjadi point harapan bersama yaitu
perubahan. Perubahan itu hanya bisa terjadi ketika kita sebagai bagian dari
dunia manusia menjadikan perubahan untuk bangsa dan Negara, dan partisipasi
menjadi hal yang sangat penting. Selain itu pendidikan politik sangat berperan
dalam bagaimana pemilih pemula menentukan hak pilihnya akan diberikan kepada
siapa. Pada hal ini media menjadi sasaran utama ajang pengenalan baik partai
maupun kandidat. Dalam sistem demokrasi, media massa dapat
menjadi kekuatan sosial yang menjalankan fungsi pengawasan sosial jika dikelola
dengan prinsip-prinsip jurnalisme yang
ketat. Namun, besar pula kemungkinan media massa menjadi kekuatan yang mengabdi kepada kepentingan ideologi
politik modal yang menggerakannya sekaligus tunduk pada mekanisme pasar guna
menggapai keuntungan yang maksimum. Dalam konteks itu, konglomerasi media massa
di Indonesia memperlihatkan bagaimana media massa didominasi oleh kepentingan
politik pemiliknya sekaligus menjadi instrumen bisnis meraup keuntungan melalui
komodifikasi informasi dalam pasar yang oligopolistik.
Potensi konflik kepentingan dalam
konglomerasi media massa ini secara faktual dapat dilihat dari munculnya sikap
media massa yang cenderung partisan dan tidak netral dalam pemberitaan. Lihat
saja keberadaan Aburizal Bakrie
sebagai pemilik TV One dan ANTV sekaligus
ketua umum Golkar yang sedikit banyak memberi insentif politik tersendiri baik
bagi kepentingan politik Aburizal Bakrie maupun Golkar. Meski tahapan kampanye
pemilu 2014 belum dimulai, mereka sudah dapat memanfaatkan media massa yang
dikuasai guna sosialisasi, pencitraan, mengcounter opini sekaligus propaganda
politik dengan menseleksi informasi yang akan
diberitakan pada publik melalui media mereka. Begitupula dengan MNC
Group yang kini gencar menopang pencitraan politik Hanura maupun Wiranto dan
Hary Tanoesudibyo yang telah mendeklarasikan diri sebagai pasangan Capres dan
Cawapres dalam Pilpres 2014. Hal serupa terjadi dengan
media massa di bawah kendali Media Group yang
sulit untuk menghindari tudingan sebagai mesin kampanye dan pencitraan Surya
Paloh maupun partai Nasdem. Meski secara formal media massa di Indonesia
seperti MNC Group, Bakrie Group maupun Media Group tidak pernah menyatakan
bahwa mereka memiliki hubungan afiliatif maupun partisan terhadap kekuatan
politik, namun relasi antara pemilik modal yang merangkap politisi membuat para
pengelola media massa tidak bisa netral dari kepentingan politik pemilik
modalnya. Sehingga konflik kepentingan
antara media massa yang harus tunduk
pada kaidah-kaidah jurnalistik dalam
menyajikan informasi kepada publik dengan kepentingan politik dari pemilik
media tersebut menjadi tidak terhindarkan. Apabila hal tersebut terjadi secara
intensif dan mengabaikan kode etik jurnalistik maka dikhawatirkan konglomerasi
media massa akan mampu merusak kualitas demokrasi. Maka
disinilah peran konsumsi yang baik oleh para penikmat berita yang disajikan.
Bawasannya, setiap warganegara diharapkan menjadi pemilih yang cerdas. Pemilih
cerdas dimaksud adalah pemilih yang mampu secara bebas memilih berdasarkan
suara hati yang baik menjatuhkan pilihannya pada figur (seorang)
yang tepat menjadi pemimpin baik dibidang pemerintah (eksekutif) dan wakilnya
(di lembaga legislatif).
Keberhasilan pesta demokrasi dalam
memilih orang-orang berkualitas dan memiliki integritas terhadap kepentingan
rakyat, kiranya ditentukan oleh tingkat kecerdasan pemilih. Karena itu,
kualitas hasil pemilu yang memunculkan anggota legislatif sebagai outputnya,
tidak hanya ditentukan oleh partisipasi aktif kita sebagai pemilih dalam
memberikan hak suara kita dengan mendatangi TPS, tetapi juga tergantung dari
sejauhmana kejelian kita menentukan pilihan dan memberikan suara kepada caleg
yang benar-benar tepat untuk dijadikan wakil rakyat.