OFFICIAL WEBSITE OF BEM FISIP UNUD

Tuesday, April 1, 2014

Materi FISIP Discussion Club 4 April 2014

Kontribusi Pemilih Pemula dan Peran Media pada Pemilu 2014
oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis
BEM FISIP Universitas Udayana

Kebangkitan dan perubahan substansial adalah perubahan yang tidak dinodai oleh pragmatisme politik dan politik transaksional, tapi perubahan yang bersumber dari semangat dan cita-cita luhur bangsa serta dilandasi nilai-nilai perjuangan, keikhlasan dan pengabdian. Latar belakang Indonesia sebagai penganut sistem politik bebas demokratis, membuat media dijadikan alat komunikasi politik yang paling efektif oleh para calon legislatif dan beberapa partai politik. Menjelang Pemilu 2014, banyak Partai Politik, caleg, Kader dan simpatisan memanfaatkan ketokohan dan membuat statement di media massa untuk menaikan simpatik dari masyarakat agar lebih mendukung caleg maupun parpolnya.

            Inspirasi perubahan selalu berawal dari kegelisahan-kegelisahan akan kondisi negara yang tidak kunjung membawa kemakmuran, karena itu para aktivis mahasiswa dan generasi muda pemilih pemula yang masih mempunyai idealisme dan cita-cita besar tentang Indonesia tentu merasa gelisah dengan kondisi bangsa saat ini. Karena itulah Pemilu 2014 sesungguhnya menjadi momentum yang tepat bagi perubahan bangsa. Untuk itu, menyongsong kebangkitan dan perubahan yang lebih fundamental di era transisi demokrasi dan transisi kepemimpinan nasional harus siap mengusung, mengisi, dan mengawal kebangkitan serta perubahan menuju cita-cita besar Indonesia yang lebih baik dan beradab.
            Pemilih pemula adalah mereka yang berusia 17 tahun pada hari pencoblosan atau yang sudah menikah dan tercatat dalam daftar pemilih tetap. Pemilih pemula dalam setiap even pemilu nasional ataupun pemilukada selalu didominasi kalangan pelajar/siswa dengan jumlah mereka yang relatif besar. Hal itulah yang menjadikan pemilih pemula sebagai lahan emas dan sering menjadi rebutan partai politik maupun para politisi untuk mendongkrak perolehan suara.
            Diperkirakan dalam setiap pemilu, jumlah pemilih pemula berkisar sekitar 25-30% dari keseluruhan jumlah pemilih dalam pemilu.  Fenomena tersebut tentu dapat menentukan kemenangan partai politik atau kandidat tertentu yang berkompetisi. Dilihat dari segi antusiasme pemilih, maka pemilih pemula dapat dikatakan pemilih yang cukup antusias pergi ke TPS, mengingat hal tersebut adalah pengalaman baru bagi mereka.  Jiwa muda dan keinginan untuk coba-coba masih mewarnai alur berpikir para pemilih pemula, sebagian besar dari mereka hanya melihat momen pemilu sebagai ajang partisipasi dengan memberikan hak suara mereka kepada partai dan tokoh yang mereka sukai/gandrungi. Antusiasme mereka untuk datang ke TPS tidak bisa langsung diterjemahkan bahwa kesadaran politik mereka sudah tinggi. Kebanyakan pemilih pemula dapat digolongkan kedalam partisipasi parokial semata. Mereka masih membutuhkan pendewasaan politik sehingga mampu berpartisipasi aktif dan dapat berkontribusi positif dalam upaya menjaga dan menyukseskan demokratisasi.
            Fenomena pemilih pemula dapat dilihat sebagai kesempatan yang luar biasa bagi partai politik. Kasarnya para pemilih pemula hanya menjadi lumbung suara tanpa mendapatkan edukasi dan penyadaran politik dari parpol.  Potensi besar ini harus bisa dioptimalkan agar partisipasi mereka tak hanya sebatas partisipasi parokial tanpa kontribusi untuk proses demokratisasi. Partai politik seharusnya tidak hanya berpikir bagaimana mendulang perolehan suara, lebih dari itu parpol harus memikirkan pula bagaimana menumbuhkan kesadaran politik bagi anak muda yang nanti suatu saat juga akan menjadi kader-kader mereka, dan etikat itu yang sampai saat ini belum ada terealisasi.
            Disinilah peran KPU, PPK, KPPS yang harus bahu membahu memberdayakan para pemilih pemula. Disinilah pemilih pemula tidak hanya menjadi massa labil yang dapat dimobilisir melainkan  harus didorong untuk menjadi pemilih otonom yang steril dari mindset money politics, kolusi, maupun nepotisme. Potensi ketokohan nasional harus dapat menjadi bagian dari kemenangan dan dimanfaatkan dengan baik yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik.
            Dalam rangka untuk membangkitkan generasi muda Indonesia berpartisipasi dalam Pemilu 2014  tidak pernah dibayangkan kalau seandainya para pemilih muda yang jumlahnya mencapai 53 juta tersebut tidak menggunakan hak pilihnya, apa lagi hingga tidak ada yang tertarik untuk memasuki bidang politik maka itu adalah lonceng kematian untuk Republik Indonesia ini.
            Fenomena generasi muda yang apatis harus segera dibenahi agar tidak berkembang karena minimnya minat generasi muda dalam persoalan politik berbangsa dewasa ini menjadi persoalan bersama. Keberadaan generasi muda yang mulai memasuki usia produktif secara politik amatlah penting dalam pembangunan bangsa, sehingga kesadaran dan kepedulian mereka terhadap perkembangan politik harus dibina sejak dini.  Menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, suara pemilih muda sangat penting dan menentukan arah demokrasi Indonesia. Partai politik sekarang harus mampu merebut kepercayaan para pemilih muda dengan aktif secara politik dengan memilih mereka turut menentukan masa depan bangsa. Karena suara mereka sangat signifikan, dan mereka adalah penerus bangsa, calon pemimpin kedepannya. Ada satu kata konstan yang menjadi point harapan bersama yaitu perubahan. Perubahan itu hanya bisa terjadi ketika kita sebagai bagian dari dunia manusia menjadikan perubahan untuk bangsa dan Negara, dan partisipasi menjadi hal yang sangat penting. Selain itu pendidikan politik sangat berperan dalam bagaimana pemilih pemula menentukan hak pilihnya akan diberikan kepada siapa. Pada hal ini media menjadi sasaran utama ajang pengenalan baik partai maupun kandidat. Dalam sistem demokrasi, media massa dapat menjadi kekuatan sosial yang menjalankan fungsi pengawasan sosial jika dikelola dengan prinsip-prinsip jurnalisme yang ketat. Namun, besar pula kemungkinan media massa menjadi kekuatan yang mengabdi kepada kepentingan ideologi politik modal yang menggerakannya sekaligus tunduk pada mekanisme pasar guna menggapai keuntungan yang maksimum. Dalam konteks itu, konglomerasi media massa di Indonesia memperlihatkan bagaimana media massa didominasi oleh kepentingan politik pemiliknya sekaligus menjadi instrumen bisnis meraup keuntungan melalui komodifikasi informasi dalam pasar yang oligopolistik.
            Potensi konflik kepentingan dalam konglomerasi media massa ini secara faktual dapat dilihat dari munculnya sikap media massa yang cenderung partisan dan tidak netral dalam pemberitaan. Lihat saja keberadaan Aburizal Bakrie sebagai pemilik TV One dan ANTV sekaligus ketua umum Golkar yang sedikit banyak memberi insentif politik tersendiri baik bagi kepentingan politik Aburizal Bakrie maupun Golkar. Meski tahapan kampanye pemilu 2014 belum dimulai, mereka sudah dapat memanfaatkan media massa yang dikuasai guna sosialisasi, pencitraan, mengcounter opini sekaligus propaganda politik dengan menseleksi informasi yang akan diberitakan pada publik melalui media mereka. Begitupula dengan MNC Group yang kini gencar menopang pencitraan politik Hanura maupun Wiranto dan Hary Tanoesudibyo yang telah mendeklarasikan diri sebagai pasangan Capres dan Cawapres dalam Pilpres 2014. Hal serupa terjadi dengan media massa di bawah kendali Media Group yang sulit untuk menghindari tudingan sebagai mesin kampanye dan pencitraan Surya Paloh maupun partai Nasdem. Meski secara formal media massa di Indonesia seperti MNC Group, Bakrie Group maupun Media Group tidak pernah menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan afiliatif maupun partisan terhadap kekuatan politik, namun relasi antara pemilik modal yang merangkap politisi membuat para pengelola media massa tidak bisa netral dari kepentingan politik pemilik modalnya. Sehingga konflik kepentingan antara media massa yang harus tunduk pada kaidah-kaidah jurnalistik dalam menyajikan informasi kepada publik dengan kepentingan politik dari pemilik media tersebut menjadi tidak terhindarkan. Apabila hal tersebut terjadi secara intensif dan mengabaikan kode etik jurnalistik maka dikhawatirkan konglomerasi media massa akan mampu merusak kualitas demokrasi. Maka disinilah peran konsumsi yang baik oleh para penikmat berita yang disajikan. Bawasannya, setiap warganegara diharapkan menjadi pemilih yang cerdas. Pemilih cerdas dimaksud adalah pemilih yang mampu secara bebas memilih berdasarkan suara hati yang baik menjatuhkan pilihannya  pada figur (seorang) yang tepat menjadi pemimpin baik dibidang pemerintah (eksekutif) dan wakilnya (di lembaga legislatif).
            Keberhasilan pesta demokrasi dalam memilih orang-orang berkualitas dan memiliki integritas terhadap kepentingan rakyat, kiranya ditentukan oleh tingkat kecerdasan pemilih. Karena itu, kualitas hasil pemilu yang memunculkan anggota legislatif sebagai outputnya, tidak hanya ditentukan oleh partisipasi aktif kita sebagai pemilih dalam memberikan hak suara kita dengan mendatangi TPS, tetapi juga tergantung dari sejauhmana kejelian kita menentukan pilihan dan memberikan suara kepada caleg yang benar-benar tepat untuk dijadikan wakil rakyat.



Share:

Search This Blog

Translate

Dept. Media Kreatif BEM FISIP UNUD. Powered by Blogger.

Blog Archive